Suasana kota Solo yang selama ini dikenal tenteram, tiba-tiba menjadi mencekam akibat aksi teroris bersenjata api dan berbekal bom. Hanya dalam waktu beberapa pekan menjelang Lebaran, telah terjadi aksi peledakan dan penembakan yang dilakukan orang tak di

Suasana kota Solo yang selama ini dikenal tenteram, tiba-tiba menjadi mencekam akibat aksi teroris bersenjata api dan berbekal bom. Hanya dalam waktu beberapa pekan menjelang Lebaran, telah terjadi aksi peledakan dan penembakan yang dilakukan orang tak dikenal di pos polisi.

Setelah korban kedua Bripka Dwi Data tewas ditembus empat peluru dari jarak dekat oleh orang tak dikenal di Pos Polisi Jalan Rajiman, aparat penegak hukum langsung meningkatkan kinerjanya. Dan pagi tadi, salah satu pelaku teror yang ‘melarikan diri’ dari Solo berhasil ditangkap Tim Densus 88 di kawasan Depok Jawa Barat.

 

Di tulisan ini saya tidak ingin mengait-ngaitkan kasus teror Solo dengan Pilkada DKI Jakarta yang akan berlangsung di bulan September ini. Meski calon gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) berasal dari Solo, tapi lebih ingin menggunakan kacamata intelijen daripada politik.

 

Aksi teror di Solo tersebut, tampaknya ingin menciptakan rasa takut di kalangan masyarakat. Mereka (teroris) itu berupaya membuat chaos, supaya terjadi saling curiga, benci dan dendam. Nah, inilah embrio teroris yang bisa menular ke generasi muda masa depan.

 

Berdasarkan sejarah terorisme di Indonesia, khusus kasus Solo merupakan peristiwa yang langka namun umum. Langka yang saya maksud karena pelaku teroris ini menargetkan korban baru, yakni petugas kepolisian. Biasanya, terorisme mengincar korban warga asing dalam jumlah besar atau instalasi-instalasi penting, seperti kantor pemerintah, kantor perwakilan negara sahabat dan sektor bisnis.

 

Aksi teror ini berlaku umum, karena media massa menjadi sarana publikasi kegiatan mereka. Selain itu, (dalam pandangan saya) para pelaku tidak menyampaikan tuntutan ke pemerintah sebelum menjalankan aksinya.

 

Beruntung, ada beberapa pelaku yang berhasil ditangkap oleh Tim Densus 88 dalam keadaan hidup. Saya salut, Tim Densus masih bisa menahan diri untuk tidak mengeksekusi mati pelaku teror di lapangan, karena mengedepankan strategi menguasai musuh. Meski bagi saya, jika dalam keadaan terdesak, pelaku teror boleh ditembak mati jika membahayakan aparat dan orang sekitar.

 

Nah, inilah tugas selanjutnya yang diemban aparat penegak hukum. Sejumlah pelaku yang berhasil ditangkap harus segera diinterogasi agar bisa mengungkap otak di balik teror Solo. Apalagi, konon, masih ada pelaku yang berkeliaran dan bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. Untuk itu, kegiatan aparat penegak hukum dalam memberantas terorisme, harus didukung semua pihak.

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: