Kisah Jarum Infus di Ruang UN

Ada satu kisah sedih Ujian Nasional (UN) di sudut negeri ini, yang membuat mata saya berkaca-kaca. Adalah Shinta Yesinia Momongan, seorang siswi berusia 17 tahun di SMA Negeri 3 Kotamobagu Sulawesi Utara (Sulut). Ia tetap nekat menjalani hari pertama UN, meski tangannya terpasang jarum infus.

 

Tapi raut wajah warga Desa Sisingon Barat Kecamatan Passi ini, tampak tegar, meski kondisi tubuhnya terlihat letih tersandar kursi di ruang ujian. Padahal, kondisinya bisa saja mengganggu konsentrasinya dalam menjawab soal-soal UN. Mungkin karena tekadnya itu, menjadi salah satu cermin perjuangan anak bangsa menghadapi UN.

 

Di kasus ini, saya mengapresiasi niat positif Shinta Yesinia Momongan ikut UN. Ia rela mengorbankan waktu untuk UN, meski seharusnya digunakan untuk pemulihan tubuhnya dari sakit. Ia pun berani mempertaruhkan resiko terburuk atas jarum infuse yang dipakainya di ruang kelas UN.

 

Meski pihak sekolah sudah menyarankan agar mengikuti ujian susulan, tapi Shinta bersikukuh pada pendiriannya untuk terus melanjutkan UN-nya di hari pertama. Padahal, masih ada bebe

Img00328-20120416-0825
rapa hari lagi UN digelar yang membutuhkan stamina fisik kuat di ruang ujian.

 

Bagi sebagian masyarakat, UN ibarat ‘malaikat maut’ masa depan siswa-siswa kita. Konsep UN sudah menjadi ‘tradisi’ dan ‘kebijakan pemerintah’ yang harus dituruti. Akibatnya, ada-ada saja prilaku sosial menyimpang dalam menghadapi UN, seperti mencontek, jual-beli kunci jawaban, aksi-joki, hingga bersemedi di kuburan demi ‘kesuksesan’ UN.

 

Saya sepakat, doa bersama sesuai keyakinan masing-masing adalah tindakan yang baik dalam memulai UN. Tapi, jika doa dilakukan karena atas dasar ketakutan menghadapi UN, menurut saya, itu tidak benar. Bagi saya, UN bukanlah malaikat penjemput maut.

 

Tuhan telah menciptakan manusia dengan akal budi, meski tak sama satu sama lain. Jika kita sebagai siswa atau orang tua yang memiliki anak sedang mengikuti UN, merasa dihantui oleh UN, mudah-mudahan tulisan ini bisa membangkitkan kesadaran kita, bahwa UN bukanlah akhir dari segala-galanya. Masih banyak jutaan peluang di luar sana jika gagal dalam UN. So, kenapa musti takut?

 

Salam Kompasiana!

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: