‘Sinanggar Tulo’ dengan Musik Kolintang

BEBERAPA hari lalu ketika berada di Manado, saya singgah di Manado Town Square, atau biasa disebut Mantoz. Awalnya saya bergegas masuk ke sebuah kafe karena ada janji dengan beberapa rekan. Tapi langkah saya terhenti, karena mendengar suara musik kolintang yang diperdengarkan oleh sekelompok remaja di lobi mall tersebut.

 

Sebetulnya saya sudah terbiasa mendengar suara kolintang. Apalagi di tanah kelahiran saya di Minahasa Selatan, suara kolintang akrab diperdengarkan setiap ada acara adat atau syukuran, minimal menggunakan rekaman kaset atau CD.

 

Nah, suara kolintang yang membuat langkah saya berhenti itu, lantaran mendendangkan lagu-lalu dari daerah Tapanuli Sumatera Utara, dan bukan lagu dari Sulawesi Utara. Saya pun tersenyum, ketika anak-anak muda tersebut memberdengarkan lagu ‘Sinanggar Tulo’, dengan alunan musik kolintang.

 

”Bah, bisa pula lagu Batak rupanya,” begitu cetus seorang Ibu yang ada di dekat saya. Saya melirik ibu tersebut, dan tampaknya seperti perawakan asal Sumetera Utara. Maklum, saya lumayan cukup bergaul dengan komunitas suku Batak di Pasar Senen Jakarta Pusat. Jadi, bisa membedakan mana ibu asal Batak dan asal Minahasa.

 

Tanpa dikomando, begitu lagu ‘Sinanggar Tulo’ selesai dimainkan, para pengunjung menyambut dengan tepuk tangan riuh. Beberapa pengunjung tampak geleng-geleng kepala kagum, tak menyangka enam orang anak dengan alat musik kolintang masing-masing, mampu memberi warna yang pas untuk lagu dari Tapanuli.

 

Untunglah, beberapa waktu lalu digelar pemecahan rekor dunia untuk pagelaran ribuan alat musik kolintang dan musik bambu, sebagai cara memperkenalkan alat musik daerah dan pengakuan dunia internasional. Tindakan ini memang perlu dilakukan, sebagai upaya melestarikan budaya daerah dari gempuran budaya musik asing dan pengaruh negatif teknologi.

Saya mencoba untuk mencari tahu tentang personil mereka. Saya pikir, di antara mereka pasti ada yang keturunan suku Batak, atau minimal pernah tinggal di daerah Tapanuli. Oala, ternyata tebakan saya meleset.

 

Para pemain musik yang berusia 13 sampai 17 tahun tersebut, adalah anak didik di Panti Asuhan Nazaret, kota Tomohon. Kehadiran mereka di Mall Mantoz tersebut, untuk mencari dana sosial bagi keperluan kegiatan Natal. Dan sejak masih anak-anak, mereka sudah terlatih alat musik kolintang, sehingga banyak lagu yang mereka kuasai.

 

Selain kidung-kidung Natal dan lagu-lagu Rohani, anak-anak tersebut juga mahir membawakan lagu-lagu nasional dan daerah. Mulai dari lagu asal Aceh, Tapanuli, Minangkabau, Sunda Betawi, Jawa hingga lagu khas asal Papua. Berarti, sudah ratusan lagu yang mereka hafal dan bisa mainkan.

 

Saya tersenyum kagum pada kegiatan mereka. Ketika para remaja saat ini mengelu-elukan musik dari grup band terkenal, ternyata masih ada anak muda yang gigih memelihara alat musik kebanggaan negeri. Apalagi di saat yang sama, Si Ibu dan suaminya yang ada di sebelah saya kembali meminta lagu ‘Sinanggar Tulo’, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang kertas Rp 100 ribu. Mereka berdua langsung memperagakan Tari Tortor sebelum memberi uang kepada pimpinan rombongan kolintang. Tampaknya, Si Ibu dan Bapak lebih menginginkan ‘cara adat’ untuk menyumbang anak-anak panti asuhan.

 

“Tudia ma luluan
Da goreng goreng bahen sobansa
Itu dia ma luluan da
Boru Tobing bahen dongan
Sinanggar tulo ikkonda
Mar boru tulang
Sinanggar tulo tulo a tulo…”

 

 

 

 

 

Posted via web from Jackson Kumaat

0 komentar: