PLN Nyaris Membunuh Ide

SEPANJANG minggu ini saya benar-benar bete! Entah dari mana istilah ‘bete’ itu, tapi yang jelas, saya dibuat pusing dengan tindakan PT PLN melakukan pemadaman aliran listrik secara bergilir. Bukan alasan PLN memadamkan listrik yang saya keluhkan, tapi ‘aksi-giliran’ itu yang tak dapat diterima akal sehat.

Jadwal pemadaman bergilir ini dilakukan, menurut Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar, akibatadanya gangguan teknis pada Interbus Trafo (IBT) I Gardu Induk Kembangan tanggal 27 September 2009 dan ganguan pada IBT II Gardu Induk Cawang tanggal 29 September 2009, yang berdampak pada berkurangnya pasokan listrik ke wilayah kerja PT PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang.

Awalnya, saya merasa kurang pantas menulis keluhan saya sebagai pelanggan PLN di kompasiana ini. Apalagi, sebenarnya banyak ruang surat pembaca yang tentunya tepat, sebagai saluran uneg-uneg layanan publik, seperti misalnya kompas.com. Dalam konteks ini, saya ingin berbagi pengalaman yang kurang mengenakkan–bahkan bisa dibilang menjengkelkan–ketika aliran listrik di rumah padam.

Pertama, kebutuhan energi listrik saat ini sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Kenapa bukan sandang? Ya, karena listrik sudah digunakan untuk sumber energi pompa air, memasak nasi (rice cooker), dan penerangan cahaya di waktu malam. Nah, apa yang terjadi jika listrik padam ketika sedang mandi, memasak nasi dan anak-anak belajar di malam hari? Saya, istri dan anak-anak saya hanya bisa menggerutu.

Kedua, kebutuhan listrik sudah menjadi trend hidup di zaman saat ini. Trend tersebut adalah penggunaan energi listrik di saat-saat tertentu. Saya setiap sore menjelang malam, sudah terbiasa menonton berita TV, untuk mengetahui info-info terbaru sepanjang hari. Contoh sederhananya, saya sudah terbiasa men-charge ponsel di waktu malam. Beruntung, mobil saya masih bisa men-charge handphone. Tapi lagi-lagi muncul keluhan pribadi, acara charge handphone harus antri, karena seisi rumah sudah memiliki ponsel.

Ketiga, kebutuhan listrik terkait erat dengan sistem sosial masyarakat. Hari Minggu lalu, saya dan keluarga berencana mengunjungi sanak-famili yang menggelar arisan. Alamak, acara arisan pun dibatalkan, lantaran aliran listrik di rumah bersangkutan terkena pemadaman bergilir. Entah apa alasan mereka. Tapi bisa jadi, lantaran kondisi interior rumah yang membutuhkan aliran listrik, untuk sebuah acara keluarga.

Meski ketiga hal tersebut bagi sebagian kalangan terlihat sepele, tapi ukuran nilai keluhan setiap pelanggan tentu berbeda-beda. Pamadaman aliran listrik secara bergilir bagi dunia industri, menurut saya, sangat terkena dampaknya. Ini karena banyak sektor industri yang sudah sangat tergantung dengan aliran listrik PLN.

Akibat pemadaman, proses produksi terganggu, tenaga kerja harus lembur, dan mesin elektronik rentan rusak. Saya sepakat, apabila PLN tidak sanggup mengelola listrik, pemerintah semestinya mempertimbangkan kembali melepaskan hak monopoli pengadaan listrik oleh PLN. Adakah yang mendukung ide saya ini? Atau, cukup sebatas class action?

Saya tak dapat membayangkan bagaimana kondisi di lapangan. Malah yang saya baca, kalangan pengusaha kesal bukan saja karena listrik yang sering padam, tetapi PLN juga sering ingkar jadwal pemadaman yang ada. Bahkan, selain Jakarta dan sekitarnya, kerugian akibat pemadaman juga terasa, antara lain, di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sejumlah industri pertekstilan misalnya, menuduh PLN sering ingkar dalam menerapkan jadwal pemadaman. Di sektor lain, pusat perbelanjaan Carrefour juga harus menghitung kembali biaya untuk mengalihkan penggunaan listrik ke genset yang menggunakan solar. Bukan hanya biaya, masalah lain juga muncul bagi peritel yang memiliki gedung sendiri apabila genset harus berubah fungsi menjadi pemasok listrik utama.

Di tanah kelahiran saya Sulawesi Utara, ternyata pemadaman listrik secara bergilir, sudah terjadi sejak tiga bulan terakhir. Volume pasokan listrik untuk sektor industri perikanan tidak mencukupi sehingga aktivitas produksi tidak maksimal. Kegiatan produksi ikan di Bitung, merosot hingga 50 persen. Pemadaman yang tidak kompromi itu membuat volume produksi menurun. Dampaknya dalam dua bulan terakhir ini sudah 50 pekerja yang harus dirumahkan.

Akhirnya, saya pun memutuskan untuk membeli genset. Saya khawatir, pemadaman listrik akan anak-anak, yang saat ini sedang menanti ujian sekolah. Setidaknya, saya dan Anda yang tinggal di Jakarta, atau beraktivitas di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan, masih harus bersabar. Di wilayah ini masih akan mengalami pemadaman listrik bergilir hingga minggu ketiga Desember 2009. Semoga, ide saya menulis di kompasiana tak akan terbunuh oleh padamnya listrik.
[Jackson Kumaat, pertama kalinya mengetik dengan ponsel Nokia E71, karena listrik padam]


0 komentar: