Romantisme Demo’98 terjadi di Demo’12

Aksi unjuk rasa para mahasiswa menolak kenaikan harga BBM, kian gencar menjelang voting yang digelar di DPR. Ada kesan, demonstrasi people power ini disebut sebagai pemaksaan kehendak, yang dapat merugikan banyak pihak. Benarkah demikian?

 

Saya ingin membawa pembaca tulisan ini ke suasana gerakan mahasiswa di tahun 1998. Kala itu, para mahasiswa gamang dengan kondisi realita yang ada di masyarakat, menyusul krisis moneter yang melanda berbagai aspek kehidupan.

 

Pun termasuk saya yang pada saat itu masih kuliah di STIE Nusantara Cawang Jakarta dan aktif di organisasi Forum Kota (Forkot). Masyarakat saat itu menganggap aktivitas kami sebagai gerakan radikal yang dianggap ‘menyusahkan’, seperti membuat jalan macet karena kerap bentrok dengan aparat TNI dan Polri.

 

Terlepas dari pemicu aksi yang lebih besar pasca-Tragedi Trisakti dan disusul Kerusuhan 12-13 Mei 1998, gerakan Forkot bisa dibilang tak pernah surut. Justru, sikap simpatik selama berjalan kaki atau dengan menggunakan bis kota tanpa mengganggu arus lalu lintas, kami mendapat dukungan dari para pengguna jalan. Mereka mensupport kami, dan itu sangat kami butuhkan sebagai sumber semangat berdemonstrasi.

 

Harus diakui, ada saja pihak-pihak yang mencoban menyusup seperti menyamar menjadi mahasiswa atau melempar benda-benda ke arah kerumunan demonstrasi untuk tujuan provokasi. Tapi bagi kami, rintangan itu justru menambah kuat barisan terdepan Forkot, sehingga kami sering disebut kelompok ‘Praetorians’ yang digunakan untuk menembus blokade aparat. Kami berdemo dengan kesiapan menemui ajal ditodong senjata.

 

Lantas, bagaimana dengan kondisi Demonstrasi tahun 2012?

 

Saya pikir, terlalu jauh menyamakan Demo’12 dengan Demo’98. Dulu, belum ada media massa yang begitu cepat mengabarkan berita ke publik seperti radio, televisi dan media online. Nah, ‘penggambaran’ ini tampaknya menjadi persepsi yang berbeda di kalangan masyarakat.

 

Saya sungguh sedih, setelah menerima pesan singkat SMS dan BBM (blackberry massanger) yang isinya mengecam aksi para mahasiswa, karena dianggap berperilaku anarkis. Dulu, di era reformasi’98 memang sering kami mendapat propaganda seperti ini, semisal lewat selebaran, karena kala itu sangat sedikit mahasiswa yang memiliki handphone. Salah satu cara mengatasi propaganda seperti ini, biasanya langsung kami bahas bersama, sehingga aksi jalanan maupun materi orasi bersifat dinamis.

 

Di tulisan ini, saya tak mengomentari materi perjuangan aksi maupun perdebatan subsidi BBM di DPR RI. Di sini, saya ingin berbagi pengalaman saya saat demo’98, bahwa keberhasilan menyuarakan suara rakyat merupakan tujuan yang mulia.

 

Dulu di era’98, banyak orang di Jakarta mengalami dampak krisis sehingga tak begitu mempersoalkan jalan macet. Tapi di era’12 sungguh berbeda. Karena pesan singkat SMS dan BBM tentang sikap anarkis mahasiswa menjadi topik pembicaraan daripada materi perjuangan mereka.

 

Mudah-mudahan, tulisan ini bisa membuka sedikit mata hati kita, untuk merestui aspirasi para mahasiswa tersebut. Toh, demo ini tak akan berlangsung lama. Lagi pula, masih banyak jalan tikus di Jakarta agar kita tak terjebak macet berlama-lama. Setidaknya, kita persilakan para mahasiswa memperjuangkan keyakinan mereka, demi mempertahankan iklim demokrasi meski sebatas parlemen jalanan.

 

Salam Kompasiana!

Unduhan

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: