Ketika Sulut Raih Penghargaan dari BPK

KETIKA aparat KPK gencar mengkampanyekan anti-korupsi dan memburu para koruptor di daerah, banyak daerah menutup diri terhadap laporan keuangannya. Alhasil, dari sebanyak 33 propinsi di Indonesia, hanya satu yang propinsi yang memiliki laporan keuangan transparan.

Di berita Koran Kompas, hingga saat ini hanya ada 15 daerah di Indonesia yang laporan keuangannya mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ke-15 daerah itu terdiri atas kabupaten, kota, dan satu provinsi, yaitu Sulawesi Utara (Sulut).

Tampaknya, ini menjadi salah satu perjuangan Sinyo Harry Sarundajang dalam memimpin daerah‘Bumi Nyiur Melambai’. Tentulah tak mudah meraih gelar WTP untuk kantor pemerintahan. Apalagi, baru saja Sulut menggelar sejumlah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang berlangsung secara marathon di tahun 2010.

Selain penghargaan WTP, BPK juga memberikan opini terendah dalam tingkatan pemberian pendapat hasil audit mereka terhadap 18 dari 151 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah atau LKPD. Ke-18 daerah itu memperoleh opini tidak wajar, yang artinya, seluruh laporan keuangan tidak memberikan keyakinan kepada auditor BPK dalam pemeriksaannya. Sayangnya, BPK tak merilis daerah mana saja yang memiliki laporan buruk itu.

Bagaimana kriteria WTP dan untuk apa gelar ini?

Sebenarnya secara awam, setiap kepala daerah harus mampu menjalankan pengelolaan keuangan secara baik dan benar. Setidaknya, di sinilah kunci seorang pemimpin dalam mewujudkan clean government dan good governance. Bisa jadi, banyak gubernur di Indonesia yang belum memiliki kemampuan ini, sehingga mereka gagal meraih predikat WTP.

Secara substansial, setiap kepala daerah harus memiliki peningkatan kinerja ekonomi dan kesejateraan warganya. Ini didasarkan pada sejumlah indikator, yakni kemampuan daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional, kepala daerah mampu mengurangi tingkat kemiskinan di atas rata-rata pertumbuhan nasional, tindakan kepala derah dalam mengurangi rata-rata pengangguran nasional serta memiliki inflasi di bawah rata-rata inflasi nasional.

Selain itu, kepala daerah juga harus berusaha memacu kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas rata-rata kenaikan PAD nasional serta kapasitas fiskal di bawah rata-rata nasional dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di atas rata-rata nasional.

Bisa jadi, tak semua Gubernur di Indonesia memiliki kemampuan seperti Pak Sinyo. Padahal, penghargaan WTP ini adalah barometer kinerja tiap propinsi, kabupaten dan kotamadya. Jadi sudah selayaknya setiap kepala daerah memiliki kemampuan di level terendah yang ditetapkan oleh Negara.

Malah, kalau perlu BPK menambah kriteria baru, yakni ‘luar biasa’ atau disingkat LB yang artinya memiliki kemampuan selevel presiden. Bukan mustahil suatu saat nanti akan muncul calon presiden yang memiliki pengalaman sebagai gubernur, seperti di Amerika Serikat. Predikat WTP ini sudah seharusnya menjadi contoh bagi daerah lain untuk meningkatkan kinerjanya.

Jika setiap tahunnya tak ada kemajuan dari propinsi, kabupaten dan kotamaya yang tak berpredikat WTP, maka sudah saatnya aparat KPK bekerja. Bukan mustahil, di daerah tersebut merupakan basis ‘tikus-tikus kantor’ yang selama ini menggerogoti uang rakyat.

Lihat saja. BPK telah menemukan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan sebanyak 3.760 kasus dengan nilai Rp 3,87 triliun dan 156,43 juta dollar AS. Temuan itu dihasilkan selama pemeriksaan yang dilakukan sepanjang Semester II 2010. Untuk itu, laporan BPK ini bisa menjadi pintu masuk bagi KPK ke daerah untuk menindak setiap pelanggaran keuangan.

Salam Kompasiana!

Ilustrasi_kidnesiathumb530

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: