Refleksi 2010 : Bencana dan Sepakbola Menyatukan Indonesia

Masih belum lupa dari ingatan kita semua, hingar-bingar partai final Piala AFF di Jakarta, akhir tahun 2010. Tiba-tiba, lebih dari 100 ribu penonton mengepung Stadion Bung Karno, hanya sekedar untuk menyaksikan langsung pertandingan antara Indonesia dan Malaysia.

Sebelumnya di tahun yang sama, sederetan bencana alam melanda berbagai daerah mulai dari banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai dan letusan Gunung Merapi. Jutaan rakyat Indonesia bersimpati dan mengulurkan tangan berpartisipasi. Ada yang spontan membantu tanpa pamrih, ada juga yang ingin membantu asalkan dipublikasi media massa. Yang terakhir ini biasanya pengurus partai politik.

Benarkah persatuan itu ada di dunia sepakbola dan pasca-bencana?

Mengutip kompasianer muda Ahmad Zainudin yang masih kuliah di FISIP UI, bahwa para sukarelawan dan masyarakat yang membantu tak akan bertanya dari suku mana para korban, bagaimana adat istiadatnya dan lain sebagainya. (Baca: Bencana, Alat Pemersatu Bangsa). Masyarakat hanya mengerti bahwa mereka merupakan saudara sebangsa dan setana air yang harus seger ditolong dan dicarikan jalan keluar agar penderitaan akibat bencana segera sirna. Memang benar, budaya Indonesia yang sebenarnya akan muncul, ketika ada musibah di negeri ini.

Lantas, mengapa kita menolong saat ada bencana? Mungkin kultur yang ditanamkan sejak nenek moyang kita, telah tertanam di hati setiap orang Indonesia. Meski, sudah banyak orang di kota-kota besar yang bersifat egaliter, tapi harus diakui, bahwa budaya ini cukup tersimpan dan akan digunakan pada saat yang tepat, yakni saat terjadi bencana.

Ada satu berita di Harian Kompas 2 Januari 2011 berjudul ’Bencana itu Menyatukan’, yang menggugah hati saya. Sejumlah anak bangsa di daerah-daerah bencana, rela mengorbankan kepentingan dirinya dan keluarganya, hanya untuk menjadi relawan pasca-bencana. Hasruddin dan warga korban bencana Wasior berupaya membangun sumur, karena sumber air bersih jaraknya cukup jauh dari lokasi pengungsian. Munkin, sosok Hasruddin ini menjadi icon untuk kembali mengangkat budaya leluhur yakni bergotong royong.

Para relawan adalah faktor penentu pemersatu di lokasi bencana. Mereka bekerja tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih. Mereka juga harus mampu memahami kondisi pengungsi. Jika ada pengungsi yang marah karena tidak mendapatkan bantuan, maka relawan harus mampu menjelaskan hal ini dengan baik tanpa menyudutkan siapa pun.

Nah, kabar buruk bencana di tahun 2011 ini sudah diramal oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Menurut Kepala BNPB Syamsul Maarif, di tahun ini, satu dari tiga desa di Indonesia rawan bencana alam. Bencana yang diprediksi melanda Indonesia pada tahun ini adalah, gempa bumi, tanah longsor, gunung api, banjir, kekeringan, dan tsunami.

Lain lagi soal euforia penonton sepakbola. Ketika Timnas Indonesia menghadapi Malaysia, barulah terlihat persatuan itu. Tak ada lagi sekat-sekat yang memisahkan Indonesia. Tak ada lagi perbadaan agama yang menghambat persatuan ini. Bahkan, fans Persib dan Persija yang selama ini menjadi musuh bebuyutan di turnamen lokal, turut berpelukan di Stadion Bung Karno.

Bisa jadi persatuan di sepakbola muncul karena adanya faktor psikologis. Oknum warga di Malaysia yang selama ini menjadi biang kerok pencurian budaya Indonesia, pelaku penganiayaan TKI, kasus perbatasan wilayah Sipadan-Ligitan dan lainnya, menjadikan Negeri Jiran menjadi ‘musuh bersama’ bagi seluruh warga Indonesia. Meski hanya di pertandingan sepakbola, namun solidaritas ini terbukti ampuh menjadi kekuatan pemersatu. Pertandingan final leg kedua Piala AFF, berlangsung dengan semangat sportivitas. Baik pemain di lapangan, tim official, wasit, para penonton dan aparat keamanan, tetap menjaga sportivitas.

Dan bagian terakhir tulisan ini, saya mengajukan pertanyaan. Mampukah pemerintah dan tokoh-tokoh bangsa menjalin persatuan tanpa ada momentum sepakbola dan bencana alam? Bisakah mereka mengedepankan kepentingan bersama dan meninggalkan kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi? Maaf saya jawab saja. Karena jawabannya tentu bisa. Asalkan, kita memiliki pemimpin yang berjiwa berani menyatukan untuk kepentingan bersama.

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: