Nikmatnya Lunch di Warteg Warmo

SANTAP siang di warung tegal (warteg) di Jakarta, merupakan kebiasaan yang mengasyikkan bagi sebagian besar orang. Warteg kini menjadi pilihan terbaik bagi kelompok warga, khususnya berpenghasilan ekonomi menengah ke bawah.

Tapi kondisinya berbeda dengan Warteg Warmo, yang berlokasi di kawasan Tebet Jakarta. Setiap siang, warung makan ini selalu penuh oleh banyak pengunjung, yang umumnya ‘orang berdasi’ atau berkecukupan. Bahkan di tiap akhir pekan, warteg ini dikunjungi oleh sejumlah artis ibukota, karena memang buka 24 jam. Selain artis, warteg ini juga sering dikunjungi pejabat, pengusaha kelas kakap, politisi dan pengacara top.

Trotoar di samping kanan warteg, sering dipenuhi oleh mobil-mobil mentereng semisal Honda Jazz, Toyota Kijang, hingga BMW. Umumnya, para pengunjung pemilik kendaraan tersebut adalah langganan serta pembeli fanatik di Warteg Warmo.

Lho, apa istimewanya Warteg Warmo?

Ya, tentu menu dan suasananya. Warteg ini berbeda dengan warteg pada umumnya. Saya sendiri melihat Warteg Warmo seperti restoran dan bukan rumah makan. Meski pada akhirnya, istilah ‘restoran’ dan ‘rumah makan’ hanya beda-beda tipis.

Menu hidangan di Warteg Warmo sebenarnya sama dengan menu warteg pada umumnya. Ada tempe goreng, tempe orek, tahu sayur, ikan teri, beberapa jenis ikan hingga aneka minuman ringan. Mungkin, karena suasana yang lumayan lux dan cukup bersih, maka warteg ini layak disebut restoran bergelar nama ‘warteg’.

Tapi Senin siang 6 Desember 2010, agaknya lucu di dalam warteg ini. Kebetulan, saya menguping pembicaraan dua orang pengunjung berdasi, yang tengah membahas rencana penerapan pajak 10 persen untuk warteg. Diskusi pun berlangsung hot, karena dibumbui pro dan kontra.

Penerapan pajak 10 persen untuk rumah makan sekelas Warteg, memang menarik untuk dicermati. Dalam sehari, omzet warung yang berlokasi di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, itu mencapai Rp 2,5 juta. Menurut seorang pengunjung itu, Hj Warmo mengaku bisa meraup uang Rp 2,5 juta saat warungnya ramai pembeli. Namun saat warung sepi, paling-paling dia hanya bisa meraup Rp 1,5 juta.Artinya, omset Warteg Warmo bisa mencapai Rp 540 Juta per tahun.

Jika pendapatan Warteg Warmo sebesar itu, otomatis warung ini masuk dalam kategori warung yang akan terkena pajak 10 persen. Aturan yang bakal diterapkan pada 1 Januari 2011 itu menyebutkan, warung yang terkena pajak adalah yang beromzet Rp 60 juta ke atas. Dengan omzet minimal Rp 1,5 juta per hari, berarti per tahun, omzet Warmo sedikitnya mencapai Rp 540 juta per tahun.

Namun Hj Warmo tetap keberatan jika pengunjung warungnya dikenai pajak. Hj Warmo takut pelanggannya kabur dan memilih tempat lain yang tidak terkena pajak.

Saya cuma senyam-senyum mendengarnya obrolan ngalor-ngidul itu, sambil membayangkan seyum khas Bang Kumis, Sang Gubernur DKI Jakarta.

Di dalam angan-angan saya, barangkali Bang Kumis mengatakan, ”Lha siapa elu? Kok protes ama kebijakan nyang gue bikin? Kalo gak mau makan di warteg yang udah ada pajak 10 persen, ya udah cari warung makan lain! Gitu aja kok repot!”

“Bush..!”

Khayalan saya tentang celotehan Bang Kumis tiba-tiba lenyap. Mungkin ini lantaran, sang pelayan Warteg Warmo mendatangi meja tempat saya makan. ”Mau pesan apa, Mas?”

”Pesan nasi tanpa pajak sepuluh persen! Eh… nasi soto ayam pake es teh manis, Mbak,” begitu saya spontan bicara. Wah, saya jadi keceplosan gara-gara mengkhayal Bang Kumis.

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: