Ribuan Ikan Mati: Ada Apa dengan Danau Tondano?

Ribuan ikan yang ada di Danau Tondano, tiba-tiba mati mendadak. Awalnya, saya tak tahu apa penyebabnya. Tapi menurut dugaan sementara, berton-ton ikan tersebut mati karena air tercemar oleh belerang. Wajarkah fenomena alam ini?

Danau Tondano adalah danau terluas di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Danau ini diapit oleh Pegunungan Lembean, Gunung Kaweng, Bukit Tampusu, dan Gunung Masarang. Danau ini dilingkari dengan jalan provinsi dan menghubungkan kota Tondano, Kecamatan Tondano Timur, Kecamatan Eris, Kecamatan Kakas, Kecamatan Remboken, dan Kecamatan Tondano Selatan.

Danau ini merupakan danau penghasil ikan air tawar seperti ikan mujair, pior/kabos, payangka wiko (udang kecil), nike dan lain-lain. Konon, sama seperti Danau Toba, Tondano terbentuk setelah gunung meletus yang terjadi ribuan tahun lalu.

Jika dihubungkan dengan dengan aktivitas gunung purba yang pernah ada di tanah Minahasa atau disebut Gunung Tondano, kecil kemungkinan Tondano akan meletus. Menurut teori dalam ilmu vulakanlogi, dapur magma gunung tersebut sudah runtuh karena letusan yang hebat, jutaan tahun lalu. Tapi bisa jadi matinya ikan di Danau Tondano memang ada kemungkinan dari aktivitas gunung yang berada di pinggirannya, seperti Gunung Lokon, Mahawu dan Gunung Soputan.

Fenomena kematian mendadak hampir 300 ton ikan beberapa hari terakhir, diduga akibat aktivitas vulkanik gunung berapi. Dugaan tersebut didasarkan pada tingginya kandungan belerang yang umumnya ditemukan di sekitar Desa Kaweng dan Tolimembet.

Ribuan ikan yang mati di Danau Tondano bisa saja diakibatkan aktivitas gunung- gunung yang berada di sekitar danau tersebut. Tapi, hingga kini belum ada penelitian untuk mengetahui keterkaitan tersebut.

Terus terang, saya baru pertama kali melihat ribuan bahkan jutaan ekor ikan mati dengan sendirinya. Rasanya, kasihan sekali melihat kondisi ikan tersebut. Bau amis pun menyengat, bahkan bisa tercium dari dalam mobil yang ber-AC.

Dari segi ekonomi, kondisi ini memukul nelayan di pesisir Tondano. Maydi Paulus, misalnya, meratapi nasib karena usaha peternakan ikannya merugi. Sejumlah nelayan masih tampak membersihkan sisik dan isi perut ikan yang telah mati. Mereka berusaha mengais rejeki, agar bisa bertahan hidup dengan kondisi hasil kritis.

Demikian pula dengan sektor pariwisata. Matinya ikan di Danau Tondano telah mempengaruhi kunjungan wisatawan, terutama di penginapan dan restoran di sepanjang tepi Tondano. Isu mistik pun muncul, sehingga banyak wisatawan terutama yang berasal dari luar Sulut. Mereka lebih memilih bertahan di Manado daripada mengunjungi Tondano.

Setiap tahun, debit air danau itu turun sekitar 40 hingga 50 Cm dan bisa kering 15 hingga 20 tahun mendatang. Hama enceng gondok pun sempat menjadi kambing hitam. Kondisi Danau Tondano diperparah dengan ancaman pemanasan global, tidak adanya penghijauan, meningkatnya aktifitas masyarakat, pembalakan liar, kebakaran, konversi hutan, pertambangan golongan C yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi.

Akibat degradasi lingkungan di danau itu, kedalaman danau menjadi sekitar 20 meter dari permukaan, padahal dalam sejarah tondano tercatat danau tondano tahun 1934 dalamnya mencapai 40 meter, sedangkan tahun 1983 sekitar 27 meter.

Danau Tondano memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, seperti menyuplai air bersih ke Perusahaan Air Minum di Minahasa, Minahasa Utara serta Kota Manado, menjadi media budidaya ikan tawar, pembangkit listrik Tanggari dan Tonsea serta pariwisata dan untuk kelangsungan orang Tondano yang hidup dari danau Tondano. Jika kondisi ini tidak langsung ditanggulangi, mungkin akan berdampak pada masa depan Tondano dan generasi kita berikutnya.

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: