350 Tahun Belanda Langgar HAM Bangsa Indonesia (http://politik.kompasiana.com)

BATALNYA kunjungan kenegaraan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masih menimbulkan 1001 pertanyaan di kalangan masyarakat. Pro-kontra pun bermunculan, sehingga mulai terlihat beda kelompok yang pro-pemerintah dan kontra-pemerintah.

 

Saya ingin coba mencermati sisi lain pembatalan kunjungan delegasi RI ke Belanda, ketika rombongan bersiap diri di Lapangan Udara Halim Perdana Kusumah Jakarta. Saat itu, Presiden mengkhawatirkan adanya ancaman dari kelompok Republik Maluku Selatan (RMS), yang berniat menyeret Presiden SBY ke Pengadilan HAM PBB di Den Haag.

 

Benarkah Presiden SBY melakukan pelanggaran HAM? Lantas, bagaimana dengan Belanda yang pernah melanggar HAM rakyat Indonesia selama 350 tahun?

 

Saya lebih memilih membahas pertanyaan kedua, karena sesungguhnya, pertanyaan pertama hanya bisa dijawab oleh pihak Pengadilan HAM PBB.

 

Belanda menjadi salah satu negara penganut kolonialisme, yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Belanda pun berjaya di Bumi Nusantara dengan menerapkan sistem perdagangan, yang saat itu negara-negara Eropa sangat membutuhkan rempah-rempah.

 

Keperkasaan Belanda atas raja-raja di wilayah Nusantara, juga diperhitungkan oleh Jepang, Amerika Serikat dan sekutunya, yang sama-sama tertarik atas produk hasil alam Indonesia. Sehingga, Indonesia menjadi rebutan para kolonialis.

 

Salah satu keterpurukan dan sisi gelap bangsa Indonesia adalah sikap represif aparat pemerintahan Belanda di Indonesia. Banyak rakyat Indonesia tewas mengenaskan oleh kebijakan kerja paksa membangun sarana infrastruktur. Tak sedikit anak-anak dan perempuan menjadi korban pelecehan yang saat ini sulit dibuktikan secara dokumentasi sejarah.

 

Bahkan, ketika Bung Karno dan Bung Hatta memimpin masa kekosongan kekuasaan ketika Jepang meninggalkan Indonesia, Belanda kembali berulah. Mereka menganggap sebagian besar wilayah Indonesia masih menjadi daerah jajahan. Mereka menganggap Papua, Maluku, Minahasa, Tanah Batak dan Batavia, sebagai hak atas pengalihan kekuasaan dari Jepang.

 

Lantas, kenapa Pengadilan HAM PBB justru tak pernah menggugat Belanda? Apakah lantaran kantor Pengadilan HAM PBB yang berlokasi di Den Haag, sehingga mereka alergi mengungkit sejarah kelam Belanda? Apakah jika kantor pengadilan HAM PBB harus berada di Jakarta, maka baru ada niat mengadili Belanda?

 

Bagi saya, pertanyaan seperti itu harus mampu dijawab Pengadilan HAM PBB. Hukum harus ditegakkan secara jujur dan adil. Kebenaran harus diungkap, meski membuka luka lama. Inilah saatnya membuka fakta sejarah agar kejadian tersebut tak terulang kembali, di manapun.

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: