Catatan Pilkada Bagian 1: Memaknai Arti Kekalahan

Rasanya sudah lumayan lama, saya tak menulis untuk Kompasiana. Mudah-mudahan sebuah alasan klasik ini bisa dipahami, yakni betapa tersitanya waktu saya ketika mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Manado Sulawesi Utara (Sulut), pada 3 Agustus 2010 yang lalu.

 

Pilkada telah usai, dan saya memang harus mengakui keunggulan lawan. Tak bisa dipungkiri, saya banyak mengorbankan banyak materi dan tenaga, untuk mengikuti Pilkada Kota Manado. Saya dan tim kampanye mempersiapkan diri sejak bulan Mei 2010. Artinya, kami hanya memiliki waktu 3 bulanfull time untuk memenangkan pertarungan.

 

Di catatan bagian pertama ini, saya ingin berbagi pengalaman penting, khususnya ketika kalah dalam sebuah pentas pertandingan demokrasi. Kekalahan itu, sungguh terasa pahit dan menyedihkan. Tapi di balik itu semua, saya berupaya memaknai situasi dan kondisi, setelah ‘divonis’ kalah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU-D) Sulut.

 

Ada juga kompetitor lain yang menggugat kekalahannya, melalui proses hukum yang berlaku. Kabarnya, meski berlangsung aman dan damai tanpa kerusuhan, Pilkada di Manado sarat dengan kecurangan. Tapi saya tak ikut ambil bagian dalam perjuangan proses itu, bukan berarti tak menghormati proses yang harus diikuti tiap kandidat. Saya tetap mendukung seluruh proses hukum Pilkada di Sulut, sepanjang masih dalam koridor yang benar.

 

Introspeksi itu memang perlu dan penting. Sebagai manusia biasa, tentunya wajar bereaksi negatif atas keterpurukan. Apalagi menjelang Hari-H pencoblosan, saya optimis mampu meraih kemenangan sempurna, atau minimal bisa mengikuti putaran kedua Pilkada.

 

Hasil Pilkada 2010, jauh dari harapan. Ucapan yang keluar dari mulut, belum tentus sesuai dengan isi hati. Di Pilkada ini, kita bisa menyaksikan ribuan pendukung yang menyatakan setia dan komitmen, tapi belum tentu setia dan komit pada Hari-H Pilkada.

 

Lantas, apakah harus terlena dalam kondisi tersebut? Tentu tidak.

 

Saya harus bangkit, dan memulai lembaran baru. Saya bersyukur, TUHAN memang sungguh maha-adil dan bijaksana. Kegiatan bisnis yang saya jalankan sebelumnya, sama sekali tak terganggu oleh aktifitas saya di dunia politik. Dan yang terpenting dari itu semua, saya masih bisa bercengkerama dengan dua anak tercinta dan istri yang setia.

lebih jelasnya...

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: