Batik Cak Mansyur

SEMUA orang kini bangga mengenakan batik. Apakah sikap ini setelah pengakuan UNESCO atas batik Indonesia? Atau sebagai bentuk sikap nasionalisme dan perlawanan terhadap fashion Barat? Pertanyaan ini menggelitik pikiran saya.

Akhir pekan ini saya jalan keliling kota. Dan niat itu didasari oleh keinginan membeli baju batik di Pasar Tanah Abang. Kebetulan memang, stok baju batik saya jumlahnya terbatas, khususnya baju berlengan pendek. Saya kurang paham dengan motif batik. Saya cuma ingin mencari batik yang warnanya cerah, karena menurut istri saya, warna yang cerah membuat saya terlihat segar dan tampil lebih mudah.

Dan, tiba di lantai dasar Blok A Pasar Tanah Abang, saya dapati sebuah kios yang menjajakan Batik. Saya melihat banyak batik di sana. Ada untuk perempuan khususnya rok dan baju terusan, dan ada pula baju batik pria dengan berbagai disain. Nah, saya pun merasa cocok dengan corak batik yang ada.

Sang pemilik kios batik ternyata berasal dari Jawa Timur, namanya Manyur. Saya langsung panggil dia dengan sebutan ‘cak’, karena sapaan itu memang biasa diungkapkan untuk pria di sana. Saya ditawari batik yang berwarna gelap. Nah, di sinilah permbicaraan hangat itu terjadi.

“Kok musti yang gelap, Cak?”

“Soalnya kulit Bapak putih, jadi warna gelap supaya jadi netral,” begitu kata Cak Mansyur. Menurutnya, batik bermotif gelap dapat mengubah penampilan si pemakainya, sehingga tidak mencolok mata jika dipakai di siang hari. Sedangkan jika memakai motif berwarna cerah, maka dikuatirkan dapat menarik perhatian orang lain, dalam konotasi negatif.

Entah dari mana alasan Cak Mansyur ini, yang jelas yang saya ingat, kepala saya manggut-manggut saja. Belum lupa dari pikiran saya, kalau cara Cak Mansyur mengungkapkan pendapat sangat meyakinkan, bahkan lebih top daripada teriakan penjual obat di pinggir jalan.

Cak Anak yang saat saya berjumpa mengenakan batik bermotif coklat tua, memang terlihat necis dilihat. Kulitnya yang putih dan perangainya yang murah senyum, membuktikan bahwa bahasa tubuh seorang penjual batik mampu meluluhkan hati setiap pembali. Saya tak kuasa berdebat soal batik, sehingga memunculkan sikap ‘trust’ kepadanya.

Saya pun jadi ingat pesan istri saya, supaya membeli batik yang bercorak cerah. Nah, saya jadi pusing juga jadinya. Daripada beresiko ‘diomeli’ istri saat pulang ke rumah, saya memutuskan untuk membeli yang bermotif gelap. “Batik warna cerah mana yang cocok buat saya?”

Cak Mansyur pun tersenyum. Dipilihnya batik berwarna cerah yang terletak di atas rak. Sepertinya, batik yang ditawarkan cocok dengan selera saya. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli batik berwarna cerah dan gelap. Kelar persoalan. Untuk 2 stel baju batik ini, saya hanya mengeluarkan uang Rp. 100 ribu.

Saya pun pulang, dan istri di rumah senang. Saat menulis ini, saya jadi ingat persoalan saya, yakni istri mewanti-wanti untuk membeli batik bermotif cerah, sedangkan Cak Mansyur menyarankan batik bermotif gelap. Meski persoalan ini terlihat sepele, namun akhirnya saya mendapati sebuah jawaban, yang ada di batik itu sendiri.

Ternyata, batik mampu menjadi solusi dari masalah sulit yang saya hadapi, bahkan dapat mengkompromikan dua unsur berbeda, yakni gelap dan cerah. Jika yang saya hadapi adalah membeli kemeja, tentu persoalannya jadi ‘hitam dan putih’. Tetapi karena yang saya hadapi adalah batik cerah dan gelap, maka saya hanya menemui jawaban yang dapat diakomodir oleh ‘corak’ batik itu sendiri.

Bagi saya, batik adalah warisan budaya yang lebih penting dari unsur yang melekat di baju. Kain batik mampu mempererat kebersamaan yang pada akhirnya menggugurkan konflik paradigma.

Meski saya tak tahu bagaimana cara para disainer batik menciptakan motif batik, tapi yang jelas, baik di Jawa maupun luar Jawa, memiliki tujuan yang sama, bahwa dalam pemberian desain batik mengandung filosofi serta mempunyai arti tertentu.

Saya sebagai konsumen batik tentu berharap, pengakuan internasional melalui UNESCO atas batik Indonesia sebagai warisan budaya bangsa, hendaknya tidak selesai begitu saja, namun harus tetap dilestarikan oleh generasi mendatang, dan harus terus menerus dikembangkan, sehingga batik sebagai warisan budaya bangsa yang telah diakui dunia tetap lestari. [jackson kumaat]

Posted via web from Jackson Kumaat

0 komentar: