Di Era Presiden Siapa yang Berhasil Memberantas Korupsi?

Sepanjang kepemimpinan presiden di Indonesia, kebijakan pemberantasan korupsi sering menemui banyak persoalan. Persoalan yang paling sulit diatasi justru datang sendiri dari aparat pemerintahan itu sendiri.

 

Pemberantasan korupsi tidak akan selesai hanya dengan sanksi hukum, pemberantasan korupsi harus di mulai dari akar permasalahanya. Menurut sejumlah kalangan, akar permasalah korupsi adalah karena para pelaku tidak mengamalkan ajaran agama dengan benar. Idealnya, pengajaran agama dengan benar dari semenjak kecil merupakan tanggung jawab pemerintah dalam bidang pendidikan.

 

Pertanyaannya, presiden mana dio republic ini yang berhasil memberi teladan yang baik dalam pemberantasan korupsi?

 

Di masa Orde Lama, ada dua badan pemberantasan korupsi yang terbentuk. Pertama, dengan perangkat aturan Undang Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Sayangnya, para pejabat yang korup pada saat itu bereaksi keras menolak menyerahkan formulir.

 

Pada 1963, melalui Kepres No 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi AHA Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara. Kala itu, Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski konon berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar.

 

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung.

 

Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. KasimoMr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto. Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.

 

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.

 

Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap.

 

Nah, bagaimana dengan nasib KPK saat ini di masa pemerintahan Pak Beye? Kita tunggu saja evaluasinya seusai masa berakhir kepemimpinannya di 2014. (Suber: wikipedia)

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: