Seandainya, Presiden SBY Kumaat…

Baru-baru ini, sebagian komunitas warga etnis Batak dihebohkan dengan berita penganugerahan gelar adat dan pemberian marga Batak ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Belum lagi pro-kontra di seputar milis, twitter dan facebook mereda, Istana Negara buru-buru meralat berita tersebut.

Hal yang menarik di sini adalah penolakan sebagian warga Batak atas pemberian marga Siregar ke Pak Beye dan boru Pohan ke Ibu Ani. Khusus untuk pemberian boru Pohan ke Ibu Ani, tindakan ini didasarkan marga Sang Besan Keluarga SBY, yakni Aulia Pohan.

Sebagai orang yang berada di luar sistem komunitas Batak, saya mencoba memahami ‘ketidak-setujuan’ gelar adat dan pemberian marga tersebut. Bisa jadi, lantaran Pak Beye diberi gelar kehormatan tertinggi Batak Mandailing sebagai ‘Paduka Tuan’, maka resmilah Pak Beye menjadi salah satu Raja Adat Batak. Mungkin akibat pemberian gelar itu, maka sebagian orang Batak yang memiliki marga Siregar kurang berkenan jika marganya dicatut. Atau bisa jadi, sebagian komunitas warga Batak di luar marga Siregar, merasa tak ingin ada pihak luar yang mengobok-obok sistem adat di lingkungan keluarga besar Batak.

Karena saya berada di luar komunitas sistem Batak, saya ingin berada di jalan seharusnya dan tak ingin terlibat pro-kontra lebih lanjut. Dan pertanyaannya adalah, bagaimana jika Pak Beye dan Ibu Ani datang ke Minahasa kemudian diberi ‘marga’ (note: marga jika di Minahasa disebut fam) juga? Mungkinkah ada penolakan serupa?

Jawabannya tentu relatif. Penolakan serupa bisa terjadi, jika Pak Beye dan Ibu Ani tidak mengikuti aturan dan sistem adat yang berlaku di Minahasa.

Tapi, jika Pak Beye dan Ibu Ani sebelum hadir ke Minahasa sudah memberikan sumbangsih bagi kemajuan Tanah Minahasa, maka hal itu bisa berbeda. Apalagi, jika Pak Beye dan Ibu Ani saat hadir dalam acara pemberian gelar adat Minahasa, kemudian menyatakan komitmennya sebagai bagian dari Keluarga Besar Minahasa, maka reaksi positif akan terjadi. Biasanya, faktor kepentingan politik akan dikesampingkan, karena warga Minahasa umumnya bersifat pragmatis.

Menurut saya, tak akan terjadi kasus penolakan pemberian gelar adat dan marga/fam, apabila syarat-syarat anggota baru terpenuhi. Suku Minahasa tentunya lebih antusias menerima tamu kehormatan yang memiliki komitmen jangka panjang, dan bahkan sebelumnya sudah membuktikan apresiasi terhadap adat istiadat.

Seluruh struktur dan sistem adat di Minahasa, tentunya menerima siapapun warga asing, asalkan mengikuti aturan yang berlaku. Apalagi jika yang bersangkutan adalah pemimpin dan negarawan, maka kecil kemungkinan terjadi reaksi negatif. Andaikan demikian, saya dan keluarga besar Kumaat pun siap memberikan gelar adat tersebut.

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: