RUU DIY: Presiden Vs Raja ?

“BADAI” Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih belum berlalu. Hari ini, rencananya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menjelaskan secara detail pernyataan sebelumnya, yang menuai kontroversi publik.

Dalam Rapat Terbatas Kabinet 26 November 2010, Pak Beye menyebutkan ada tiga pilar yang harus diperhatikan dalam penyusunan RUU ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, keistimewaan DIY berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan sesuai dengan UU, serta aspek Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi.

Sebenarnya, polemik keistimewaan DIY sudah ditulis dan dikupas dalam berbagai artikel di surat kabar maupun buku. Salah satunya, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan karya Suryo Sakti Hadiwijoyo. Buku ini, dari sisi waktu, terasa pas untuk dibaca karena hingga kini perdebatan isi keistimewaan terus berlangsung. Nasib RUUK DIY pun belum jelas benar.

Pada bukunya, Suryo-yang pegawai negeri sipil pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Salatiga-menuliskan, tersendat- sendatnya penyelesaian UUK DIY tak semata-mata berkutat masalah hukum, namun lebih kental nuansa politis. Hal itu karena DIY mempunyai posisi tawar cukup kuat di hadapan pemerintah pusat. Itu tak terlepas dari peran pemimpin Kasultanan dan Pakualaman dalam proses dinamika ketatanegaraan di masa kemerdekaan dan reformasi.

Saya sepakat dengan analis dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Mutahdi yang mengatakan, SBY kali ini melakukan kesalahan strategi komunikasi dalam menyampaikan persoalan RUUK DI Yogyakarta kepada publik. Karena tidak langsung menyasar kepada pokok persoalannya, SBY malah melukai hati rakyatnya dan menimbulkan dampak yang kontraproduktif terhadap dirinya sendiri.

Akibat pernyataan kontroversi Pak Beye, di Yogyakarta bermunculan aksi perang spanduk pro-referendum. Mayoritas spanduk dipasang di perempatan jalan raya yang banyak dilalui masyarakat. Melalui spanduk, warga DIY menyatakan siap menyukseskan referendum. Tulisan yang terpampang di spanduk antara lain: “Masyarakat DIY Siap Referendum” dan “Penetapan Gagal, Referendum Siap!”

Kubu pemerintah pusat pun, mulai beraksi. Kali ini, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzimenegaskan, usulan referendum atau jajak pendapat yang diajukan sejumlah pihak untuk mengetahui aspirasi masyarakat terkait mekanisme pemilihan kepala daerah Daerah Istimewa Yogyakarta terlalu jauh. Mungkin, istilah populernya yaitu: “lebay”.

Sedangkan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengakui, ada kesalahpahaman pengertian para pihak yang mendengar pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Karena itu, Presiden akan menjelaskan pernyataannya itu, hari Kamis ini.

Benarkah publik sepekan terakhir ini telah melakukan salah tafsir?

Bagi saya, satu-satunya cara menyelesaikan perbedaan pandangan menyangkut keistimewaan Yogyakarta adalah membicarakannya di antara pemerintah, DPR, dan pihak terkait. Pembicaraan bersama itu untuk mengambil pilihan politik hukum untuk disepakati bersama. Jangan sampai kasus ini berlarur-larut, sehingga mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Masih banyak agenda pembangunan daerah yang harus segera dilakukan. Penanganan masalah kemiskinan, pengangguran dan kesehatan, seharusnya menjadi topik pembicaraan yang dilanjutkan dengan kebijakan strategis.

Pembahasan RUU DIY memang penting, apalagi hal ini bisa berdampak ke daerah lain. Tapi, kedua kubu yang bertikai harus legowo mengakhiri pertikaian secara cepat dan damai. Tak ada gunanya meluapkan kemarahan. Sama seperti pendiri negeri ini, kaum elit memegang peran penting dalam menyusun rencana masa depan negara dan masyarakat.

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: