Mungkinkah Masih Ada Satu Indonesia?

[[posterous-content:pid___0]]

KEHIDUPAN berbangsa dan bernegara di Bumi Pertiwi, masih menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Bisa jadi, konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik dan sentralistik.

Dalam perjalanannya hingga di era reformasi ini, kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi, justru terhambat oleh ideologi harmoni sosial yang mengedepankan ideologi keseragaman.

Untuk itu, penyelenggara negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Kasus konflik di Poso, Papua, antar-etnis di Kalimantan dan konflik antar-kelompok di kota-kota besar, sebenarnya menjadi cermin amburadulnya sistem yang diterapkan pemerintah.

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.cKonflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

Tapi saya yakin, konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat. Sedangkan konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Di bidang politik misalnya, konflik telah mengajarkan banyak orang tentang pentingnya demokrasi.

Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan berkembang menjadi liar dan kemudian merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, apalagi tatanan berbangsa dan bernegara yang telah menjadi konsensus nasional. Karena itu, manajemen politik yang ada seharusnya mampu mengendalikan konflik, sehingga dapat menjadinya sebagai kekuatan yang mencerahkan, bukan kekuatan yang menghancurkan.

Kenapa konflik begitu melekat dengan bangsa ini?

Itu karena belum adanya political will dan konsistensi pemerintah. Selain itu, masyarakat belum diajak oleh pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi. Menurut saya, pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif. Kita tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan.

Semoga, masih ada waktu bagi seluruh warga negara Indonesia, untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi Pancasila yang stabil. Untuk menciptakan Indonesia sebagai negara yang  maju, dibutuhkan komitmen satu visi, tujuan dan kebersamaan.

Selengkapnya....

Posted via email from Jackson Kumaat

0 komentar: