Gudeg Bu Tina

Sepertinya, sudah lama saya tak menyantap gudeg Bu Tina. Bagi saya, gudeg Bu Tina memiliki rasa yang pas buat selera saya, yang fasih dengan hidangan pedas ala Minahasa.

Gudeg Bu Tina bisa terbilang kurang layak disinggahi. Ini karena lokasinya berada di Stasiun KA Gondangdia, di kawasan Menteng Jakarta. Bu Tina, demikian ia biasa disapa, hanya membuka kios kecil berukuran 2X2 meter. Praktis, pengunjungnya pun terkena ’seleksi alam’, yakni hanya maksimal 8 orang. Nah, kalau ada yang ingin menikmati gudeg Bu Tina, ya terpaksa rela antri waiting list atau sekedar membeli gudeg dalam bungkusan untuk dibawa pulang.

Saya jadi senyum sendiri, ketika pertama kali mengenal Bu Tina. Pagi itu, sekitar 3 tahun lalu menjelang Natal, mobil saya terjebak macet di sekitar Mentang. Saya meminta sopir saya, Agus, untuk mencari jalur alternatif untuk menghindari Tugu Tani. Oala, jalan tikus yang kami tempuh ternyata di luar dugaan, justru malah terjebak kemacetan di sekitar Pasar Gondangdia. Yang saya ingat, gara-gara metromini ngetem dan mogok, kemacetan jadi tak terhindarkan.

Di tengah kemacetan yang tak dapat bergerak, sorot mata saya celingak-celinguk ke sekitar. Saya pun turun dari mobil dan berjalan ke arah stasiun, sekitar 3 meter dari titik kemacetan, Sopir Metromini itu. Entah apa sebabnya, mata saya kok ke arah kios Bu Tina. Padahal, di situ ada banyak kios. Mulai dari nasi uduk, ketupat sayur, gado-gado dan warung Padang. Saya pun langsung duduk di bangku papan yang saat itu terisi dua orang.

“Gudegnya pake apa, Mas,” begitu kata wanita tua itu.

Mendapat ’serangan fajar’ dari penjual, mata saya arahkan ke menu yang tersaji. Di situ ada ayam opor, ayam goreng, hati-ampla, telur rebus, dan tahu-tempe. Sebenarnya, baru kali ini saya makan di pinggir jalan, karena saya sudah terbiasa menyantap sarapan buatan istri. Meski perut belum lapar, apalagi saat itu masih sekitar jam 9 pagi, saya langsung menyahut saja. “Nasi setengah pake ayam opor ya, Bu,” begitu saya bilang.

Tak beberapa lama, hidangan pun tiba. Aroma nasi hangat dan ayam opor pun datang. Dan detik itu pun nafsu makan saya muncul. Saya sudah lupa gimana nasib mobil saya yang terjebak oleh metromini di depan Pasar Gondangdia. Saya juga tak peduli di mana Agus akan memarkir mobil untuk menunggu saya. Yang ada di kepala saya, nikmatnya bumbu opor dan sambal yang menyatu di lidah. Daging ayam yang lembut, bahkan tak perlu lelah mengunyah, sudah masuk ke lambung saya. Teh hangat pun langsung saya minum, tak peduli leher saya masih terjepit oleh dasi dan kerah baju tertutup rapat.

Itulah titik awal ‘cinta pertama’ saya dengan gudeg. Makanan khas awal Jogja ini, ternyata sudah menciptakan sebuah kenikmatan sarapan pagi model baru dalam kehidupan saya, meski hanya berada di bawah stasiun dan tepat di depan pasar Gondangdia. Apalagi harganya yang relatif murah, yakni dengan menu tahu-tempe Rp 8 ribu dan ayam opor Rp 12 ribu.

Titik tersebut yang membuat mata hati saya terbuka. Ternyata bagi Bu Tina, dua bangku papan yang tersedia ibarat mesin uang setiap pagi hari. Ia pun bercerita, bagaimana harus terbiasa menyiapkan bahan baku di malam hari, kemudian bangun pagi menjelang subuh.

Ketika kereta api (KRL) tiba di stasitun, maka di situlah roda perekonomian bergerak. Mulai dari pedagang koran eceran, pemilik kios rokok, makanan ringan, hingga kios-kios di sepanjang Stasiun Gondangdia, juga mulai turut berktivitas. Sebuah kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya juga menggerakan sektor ril.

Saya sempat terkejut, ketika Bu Tina kembali bercerita, kalau anaknya sedang menjanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Mulai pagi hingga siang hari, ia dan beberapa pembantunya dapat menjual 100 porsi nasi gudeg. Karena seporsi bervariasi antara Rp 7-12 ribu, maka kios Bu Tina bisa menghasilkan pendapatan antara Rp 700 ribu hingga Rp 1,2 juta per hari.

Meski demikian, bukan berarti dagangan Bu Tina berjalan tanpa masalah. Setiap harinya, ia harus siap dipusingkan oleh pungli di stasiun, jatah preman maupun pengemis yang kelaparan. Untungnya, Bu Tina punya trik-trik khusus untuk menghadapi itu. Tapi bagi saya, itu adalah kelihaian seorang ibu berusia 50 tahun dalam berbisnis di pusat ibukota.

Dan tadi pagi sebelum menulis ini, saya sempatkan mengunjungi kios Bu Tina. Belum ada perubahan sejak terakhir saya ke tempat itu sekitar 6 bulan lalu. Bedanya, saat ini sejumlah pengemis mulai berkeliaran di sekitar stasiun, sedikit mengurangi kenyamanan menikmati sarapan.

[Jackson Kumaat, Stasiun Gondangdia Jakarta]

Posted via web from Jackson Kumaat

0 komentar: